Tidak pernah ada karya yang jelek. Suka atau tidak suka
terhadap sebuah karya kembali pada selera seseorang. Dan, buat saya karya
Pandji Pragiwaksono masuk dalam selera saya.
***
Desember 2012, Ade –teman saya- menghubungi dan meminta saya
untuk menemaninya menonton konser. “Ini Pandji ci, loe pasti suka deh,” begitu
katanya. Tanpa berpikir panjang saya menyetujuinya. Saya mengenal Pandji
sebagai pembawa acara serta pengisi program provocative proactive yang tayang
di Metro TV, saya sempat mengunduh pula tulisannya yang berjudul Nasional Is Me,
namun saya tak pernah tahu bahwa Pandji juga bisa menyanyi.
Saya tak punya ekspetasi apa-apa saat menginjakkan kaki di
Museum Nasional. Toh, sebenarnya saya lebih ingin menonton pertunjukan stand up comedy,
namun sayang tiket terusannya sudah habis. Satu persatu penonton datang dan
semakin banyak dengan berbagai atribut yang menunjukkan kebangsaan."Hebat ini
orang, de,” begitu kata saya pada Ade. Bayangkan dia berhasil mendatangkan
penonton dari berbagai kelas ekonomi. Mereka datang mengenakan atribut yang
menunjukkan kecintaan mereka pada bangsa ini. Ada yang datang dengan celana
super pendek, sepatu hak tinggi namun memakai kaus bertuliskan Indonesia.
Mereka yang datang ternyata juga penikmat musik Pandji, terbukti dari banyaknya
suara yang ikut bernyanyi. Mungkin hanya saya saja yang saat itu baru mendengar
lagu-lagunya. Konser 32 menjadi awal
kecintaan saya pada Panji sebagai rapper. Saya jatuh cinta pada lagu-lagunya
yang mengangkat nasionalisme, bangsa ini butuh lagu-lagu seperti itu. Sepulang
dari konser saya membeli sebuah jaket bertuliskan Indonesia:, serta membeli
semua album hip-hop Pandji yang dijual di wsydnshop.com. Tanda masuk konser
berupa gelang masih saya pakai hingga bertahun-tahun kemudian hingga akhirnya
harus dipotong karena tangan saya yang membesar sehingga tak bisa lagi dilepas.
|
Jaket Indonesia: saya pakai untuk jalan-jalan |
|
Koleksi Album Pandji |
|
Gelang tanda masuk konser 32 |
Mei 2015, saya memutuskan untuk datang ke acara workshop
Indiepreneur yang diselenggarakan di Comma Id. Impulsif, itu saja alasananya.
Tiba-tiba saya memutuskan untuk datang karena melihat sebuah twit dari Pandji.
Saya menghadiri 3 dari 5 kelas yang digelar. Buat saya
pertemuan dengan pandji malam itu benar-benar membawa berkah. Banyak
orang yang cerdas atau kreatif namun tidak banyak orang yang mau berbagi dan
Pandji adalah satu dari sedikit orang itu. Banyak hal yang saya dapat
dalam workshop tersebut, prinsip “Save the Cow”, prinsip “bukannya gak mau
nungguin tetapi menghargai yang datang tepat waktu” atau prinsip “mencoba
memahami sebelum membenci” saya dapatkan dari workshop ini. Prinsip yang kini
saya coba terapkan dalam hidup. Sepulang dari workshop ini saya mengunduh ebook Indiepreneur, gratisan memang tetapi bermanfaat. Saya sempat membuat tulisan
tentang workshop Indipreneur disini. Selain itu saya membuat rangkuman materi pembuatan proposal yang saya bagikan pada seorang sahabat di Surabaya dan kami masih menggunakan cara-cara yang
diajarkan Pandji hingga sekarang.
|
Free ebook Indiepreneur |
|
Foto bareng setelah workshop |
Oktober 2015, berita baik itu datang. Pandji akan menggelar tur Nusantarap. Ini dia yang saya
tunggu-tunggu, begitu pikir saya. Sebagai penggemar lagu-lagu Pandji saya tak
akan melewatkan kesempatan ini. Saya pun menyeret seorang teman untuk menemani
saya menonton Show Case Nusantarap. Tiba di lokasi, saya diberi sebuah gelang
kertas tanda masuk. Sepi, itu yang saya lihat ketika saya masuk ke lokasi. Saya
memilih sebuah sofa persis di depan panggung kecil sehingga saya bisa leluasa
menonton. Sebagai persiapan saya sudah menyalin lirik lagu-lagu Pandji ke dalam ponsel, saya mau ikut menyanyi. Hal ini
saya lakukan, karena walau sekeras apapun saya mencoba menghapal, saya tak pernah
bisa mengikuti beat Pandji ketika bernyanyi, saya hanya hapal bagian reff-nya
saja. Malam itu saya merasa senang luar bisa, ini seperti konser yang digelar
hanya untuk saya pribadi. Penonton yang datang bisa dihitung dengan jari namun
banyak rekan komika yang datang, seperti Babe Cabita yang mencoba break dance
namun berakhir dengan kepala terbentur lantai.
|
Show Case Nusantarap |
|
Gelang tanda masuk Show Case Nusantarap |
Kecerian berlanjut di Tur Nusantarap di Depok. Saya hadir
tepat waktu, membeli tiket, mendapatkan kartu member coffe toffee, dan segelas
kopi. Malam itu saya larut dalam melodi milik Pandji, mengikuti setiap lirik,
meloncat dan bergoyang, ikut mengepalkan tangan ketika lagu menoleh dan ikut
bernyanyi. Selesai konser saya mendapat kesempatan untuk foto bersama Pandji.
Kali ini saya mendapat kesan lain tentang Pandji, ia adalah orang yang
menghargai Wongsoyudan. Ia tak akan pulang sebelum semua penonton pulang, ia
memberikan kesempatan untuk penonton foto bersamanya. Hal ini saya temui juga
dibeberapa kesempatan lain. Selain konser musik, saat itu Pandji membuka
penjualan merchandise, saya ingin sekali membeli kaus Nusantarap namun
sayangnya saya tak membawa cukup uang malam itu. Namun saya berhasil
mendapatkan kaus yang dimaskud, seorang sahabat di Surabaya yang membelikannya
dan mengirimkan ke Jakarta. Niat awalnya saya ingin menonton Nusantarap yang di
Bogor atau Jakarta, berjanji sama sahabat dari Surabaya dan Jogja untuk
menonton Nusantarap di Jogja, namun sayangnya rencana tersebut tidak terwujud. Tapi saya tak melewatkan untuk membeli album Nusantarap.
|
Foto dulu abis nonton Nusantarap di Depok |
|
Kaus Nusantarap diajak jalan-jalan ke Belitung |
Maret 2016, Pandji meluncurkan buku Menemukan Indonesia.
Saya langsung melakukan pemesanan awal melalui website WSYDN. Alasannya
sederhana, ini buku dengan genre travelogue, saya yang memang menyukai
perjalanan jadi penasaran perjalanan seperti apa yang ditulis Pandji. Saya
datang, mendengarkan cerita-cerita dibalik pembuatan buku, hingga kisah-kisah
yang ada di dalam buku. Satu hal yang saya ingat saat itu, saya tak merasa
menyesal membeli buku menemukan Indonesia. Banyak hal yang membuka mata saya
dalam buku tersebut. “Terimakasih sudah membeli buku saya, kamu sering datang
yah” begitu kata Pandji saat saya meminta tanda tangan. Saya bengong, ternyata Pandji ingat saya. Ah, saya lupa, coba saat itu sekalian
saya minta cap bibir untuk dibuku saya yah.
|
Peluncuran buku Menemukan Indonesia |
Desember 2016, saya datang menghadiri Juru Bicara World Tour
Jakarta bersama 3 teman. Alasannya sederhana, penasaran. Apa sih lucunya Pandji
sehingga stand up comedy tour- nya selalu penuh. Saya mendapatkan tiket presale
yang berarti pula saya mendapat kesempatan untuk berfoto. Ketika menunggu
pertunjukkan mulai, Pak Anies lewat di sebelah kursi saya. “Wah, ada bakal calon,
kira-kira nanti materinya ada unsur pilkada gak yah?” begitu tanya Mumu, teman
saya. Saya hanya tersenyum, lalu menjawab “ Gak kok, jangan khawatir, Pandji
juga sudah memberikan pernyataan tentang ini lewat twitternya”. Nyatanya,
Pandji benar-benar memenuhi janjinya untuk tidak menyinggung soal pilkada malam
itu. Penasaran saya juga terjawab dengan gelak tawa yang rasanya tak
putus-putus. Saya merasa tak mendapatkan kesempatan untuk menarik nafas
sejenak. Cerdas, itu yang saya tangkap. Bagaimana tidak, isu-isu berat bisa
ditampilkan dengan begitu ringan dan lucu. Ada hal yang membuat saya terharu
malam itu, saat saya naik ke panggung untuk berfoto dengan Pandji, ia tersenyum
menjabat tangan saya lalu berkata “ siapa yah nama kamu?, kita sering yah
ketemu”. “Suci,” jawab saya. Wow lagi-lagi Pandji ingat saya, ia mengingat
dengan baik siapa-siapa saja yang pernah datang ke acara yang ia bikin. “ Bang,
ditunggu konser Hip-hopnya yah”, kata saya. “Pasti,” jawab Pandji sambil
tersenyum.
|
Foto bareng setelah nonton Juru Bicara |
Selepas Juru Bicara, Pandji mengumumkan bahwa ia benar-benar
menjadi seorang Juru Bicara. Keputusan yang menuai banyak pro dan kontra. Semakin
panas suasana perpolitikkan Ibu kota, semakin banyak teman yang memutuskan
untuk mengucap selamat jalan pada Pandji. Saya jelas memiliki pandangan yang berbeda
dengan Pandji, saat itu saya tidak lagi membaca Pandji.com, namun disaat yang
bersamaan saya masih menunggu newslatter yang dikirim ke email semua
wongsoyudan. Karena email ini terasa begitu personal dan tak ada muatan
politik. Beberapa teman yang kontra selalu mention saya setiap twit Pandji yang
dianggap kontroversial menurut mereka. Namun teman yang pro Pandji justru
mempertanyakan kenapa saya punya pandangan yang berbeda. Buat saya alasannya
sederhana saja, saya bukan warga DKI buat apa saya ikut-ikutan ribut, selain itu
Pandji tak pernah memaksakan penggemarnya untuk memiliki pandangan yang sama
dengan dia, jadi mengapa saya harus memaksakan pandangan idola saya harus sama
dengan saya. Saya yakin Pandji punya alasan yang kuat mengapa memilih menjadi
Juru Bicara, sama seperti saya yang juga memiliki alasan mengapa bersebrangan
dengan Pandji. “Pandji lupa apa yang pernah ia utarakan dalam materi stand
upnya, lagu-lagunya, atau tulisan-tulisannya” begitu kata seorang teman. Saya
penasaran hingga suatu hari saya mention Pandji
mengenai lagu demokrasi kita. Twitt saya dibalas, ia ternyata masih
ingat dengan jelas lirik lagunya. Terlepas dari keputusan teman-teman lain, ternyata
sampai saat ini saya masih follow Pandji, masih sering mendengarkan lagu-lagu Pandji,
masih baca buku yang saya punya, masih pakai jaket Indonesia: dan kaus
Nusantarap untuk jalan-jalan dan masih menunggu karya musik Pandji. Saya mengunduh lagu "satu lawan banyak" yang menurut saya bukanlah selera saya serta lagu "sentimental" yang saya suka sekali sehingga kerap saya dengarkan.
|
seorang teman di Semarang yang mengucap selamat jalan pada Pandji
|
|
Unduh satu lawan banyak |
|
suka banget sama lagu sentimental |
***
Hidup itu selalu bergerak, perubahan adalah suatu yang pasti.
Terlepas dari hiruk pikuk dunia perpolitikkan yang membuat banyak orang merasa Pandji berubah, saya masih menunggu lagu-lagu Pandji. Saya akan segera mengunduh,
lalu mendengarkan. Jika saya suka maka saya akan masukan dalam playlist, jika
tidak maka lagunya mungkin bukan selera saya. Sesederhana itu saja sih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar