Sabtu, 17 Juni 2017

Sesederhana itu saja sih


Tidak pernah ada karya yang jelek. Suka atau tidak suka terhadap sebuah karya kembali pada selera seseorang. Dan, buat saya karya Pandji Pragiwaksono masuk dalam selera saya.

***

Desember 2012, Ade –teman saya- menghubungi dan meminta saya untuk menemaninya menonton konser. “Ini Pandji ci, loe pasti suka deh,” begitu katanya. Tanpa berpikir panjang saya menyetujuinya. Saya mengenal Pandji sebagai pembawa acara serta pengisi program provocative proactive yang tayang di Metro TV, saya sempat mengunduh pula tulisannya yang berjudul Nasional Is Me, namun saya tak pernah tahu bahwa Pandji juga bisa menyanyi.

Saya tak punya ekspetasi apa-apa saat menginjakkan kaki di Museum Nasional. Toh, sebenarnya saya lebih ingin menonton pertunjukan stand up comedy, namun sayang tiket terusannya sudah habis. Satu persatu penonton datang dan semakin banyak dengan berbagai atribut yang menunjukkan kebangsaan."Hebat ini orang, de,” begitu kata saya pada Ade. Bayangkan dia berhasil mendatangkan penonton dari berbagai kelas ekonomi. Mereka datang mengenakan atribut yang menunjukkan kecintaan mereka pada bangsa ini. Ada yang datang dengan celana super pendek, sepatu hak tinggi namun memakai kaus bertuliskan Indonesia. Mereka yang datang ternyata juga penikmat musik Pandji, terbukti dari banyaknya suara yang ikut bernyanyi. Mungkin hanya saya saja yang saat itu baru mendengar lagu-lagunya. Konser  32 menjadi awal kecintaan saya pada Panji sebagai rapper. Saya jatuh cinta pada lagu-lagunya yang mengangkat nasionalisme, bangsa ini butuh lagu-lagu seperti itu. Sepulang dari konser saya membeli sebuah jaket bertuliskan Indonesia:, serta membeli semua album hip-hop Pandji yang dijual di wsydnshop.com. Tanda masuk konser berupa gelang masih saya pakai hingga bertahun-tahun kemudian hingga akhirnya harus dipotong karena tangan saya yang membesar sehingga tak bisa lagi dilepas.

Jaket Indonesia: saya pakai untuk jalan-jalan

Koleksi Album Pandji
Gelang tanda masuk konser 32




Mei 2015, saya memutuskan untuk datang ke acara workshop Indiepreneur yang diselenggarakan di Comma Id. Impulsif, itu saja alasananya. Tiba-tiba saya memutuskan untuk datang karena melihat sebuah twit dari Pandji. Saya menghadiri 3 dari 5 kelas yang digelar.  Buat saya pertemuan  dengan pandji malam itu benar-benar membawa berkah. Banyak orang yang cerdas atau kreatif namun tidak banyak orang yang mau berbagi dan Pandji adalah satu dari sedikit orang itu. Banyak hal yang saya dapat dalam workshop tersebut, prinsip “Save the Cow”, prinsip “bukannya gak mau nungguin tetapi menghargai yang datang tepat waktu” atau prinsip “mencoba memahami sebelum membenci” saya dapatkan dari workshop ini. Prinsip yang kini saya coba terapkan dalam hidup. Sepulang dari workshop ini saya mengunduh ebook Indiepreneur, gratisan memang tetapi bermanfaat. Saya sempat membuat tulisan tentang workshop Indipreneur disini. Selain itu saya membuat rangkuman materi pembuatan proposal yang saya bagikan pada seorang sahabat di Surabaya dan kami masih menggunakan cara-cara yang diajarkan Pandji hingga sekarang.
Free ebook Indiepreneur
Foto bareng setelah workshop


Oktober 2015, berita baik itu datang. Pandji akan menggelar  tur Nusantarap. Ini dia yang saya tunggu-tunggu, begitu pikir saya. Sebagai penggemar lagu-lagu Pandji saya tak akan melewatkan kesempatan ini. Saya pun menyeret seorang teman untuk menemani saya menonton Show Case Nusantarap. Tiba di lokasi, saya diberi sebuah gelang kertas tanda masuk. Sepi, itu yang saya lihat ketika saya masuk ke lokasi. Saya memilih sebuah sofa persis di depan panggung kecil sehingga saya bisa leluasa menonton. Sebagai persiapan saya sudah menyalin lirik lagu-lagu Pandji  ke dalam ponsel, saya mau ikut menyanyi. Hal ini saya lakukan, karena walau sekeras apapun saya mencoba menghapal, saya tak pernah bisa mengikuti beat Pandji ketika bernyanyi, saya hanya hapal bagian reff-nya saja. Malam itu saya merasa senang luar bisa, ini seperti konser yang digelar hanya untuk saya pribadi. Penonton yang datang bisa dihitung dengan jari namun banyak rekan komika yang datang, seperti Babe Cabita yang mencoba break dance namun berakhir dengan kepala terbentur lantai.

Show Case Nusantarap
Gelang tanda masuk Show Case Nusantarap


Kecerian berlanjut di Tur Nusantarap di Depok. Saya hadir tepat waktu, membeli tiket, mendapatkan kartu member coffe toffee, dan segelas kopi. Malam itu saya larut dalam melodi milik Pandji, mengikuti setiap lirik, meloncat dan bergoyang, ikut mengepalkan tangan ketika lagu menoleh dan ikut bernyanyi. Selesai konser saya mendapat kesempatan untuk foto bersama Pandji. Kali ini saya mendapat kesan lain tentang Pandji, ia adalah orang yang menghargai Wongsoyudan. Ia tak akan pulang sebelum semua penonton pulang, ia memberikan kesempatan untuk penonton foto bersamanya. Hal ini saya temui juga dibeberapa kesempatan lain. Selain konser musik, saat itu Pandji membuka penjualan merchandise, saya ingin sekali membeli kaus Nusantarap namun sayangnya saya tak membawa cukup uang malam itu. Namun saya berhasil mendapatkan kaus yang dimaskud, seorang sahabat di Surabaya yang membelikannya dan mengirimkan ke Jakarta. Niat awalnya saya ingin menonton Nusantarap yang di Bogor atau Jakarta, berjanji sama sahabat dari Surabaya dan Jogja untuk menonton Nusantarap di Jogja, namun sayangnya rencana tersebut tidak terwujud. Tapi saya tak melewatkan untuk membeli album Nusantarap.

Foto dulu abis nonton Nusantarap di Depok

Kaus Nusantarap diajak jalan-jalan ke Belitung


Maret 2016, Pandji meluncurkan buku Menemukan Indonesia. Saya langsung melakukan pemesanan awal melalui website WSYDN. Alasannya sederhana, ini buku dengan genre travelogue, saya yang memang menyukai perjalanan jadi penasaran perjalanan seperti apa yang ditulis Pandji. Saya datang, mendengarkan cerita-cerita dibalik pembuatan buku, hingga kisah-kisah yang ada di dalam buku. Satu hal yang saya ingat saat itu, saya tak merasa menyesal membeli buku menemukan Indonesia. Banyak hal yang membuka mata saya dalam buku tersebut. “Terimakasih sudah membeli buku saya, kamu sering datang yah” begitu kata Pandji saat saya meminta tanda tangan. Saya bengong,  ternyata Pandji ingat saya. Ah, saya lupa, coba saat itu sekalian saya minta cap bibir untuk dibuku saya yah.

Peluncuran buku Menemukan Indonesia


Desember 2016, saya datang menghadiri Juru Bicara World Tour Jakarta bersama 3 teman. Alasannya sederhana, penasaran. Apa sih lucunya Pandji sehingga stand up comedy tour- nya selalu penuh. Saya mendapatkan tiket presale yang berarti pula saya mendapat kesempatan untuk berfoto. Ketika menunggu pertunjukkan mulai, Pak Anies lewat di sebelah kursi saya. “Wah, ada bakal calon, kira-kira nanti materinya ada unsur pilkada gak yah?” begitu tanya Mumu, teman saya. Saya hanya tersenyum, lalu menjawab “ Gak kok, jangan khawatir, Pandji juga sudah memberikan pernyataan tentang ini lewat twitternya”. Nyatanya, Pandji benar-benar memenuhi janjinya untuk tidak menyinggung soal pilkada malam itu. Penasaran saya  juga  terjawab dengan gelak tawa yang rasanya tak putus-putus. Saya merasa tak mendapatkan kesempatan untuk menarik nafas sejenak. Cerdas, itu yang saya tangkap. Bagaimana tidak, isu-isu berat bisa ditampilkan dengan begitu ringan dan lucu. Ada hal yang membuat saya terharu malam itu, saat saya naik ke panggung untuk berfoto dengan Pandji, ia tersenyum menjabat tangan saya lalu berkata “ siapa yah nama kamu?, kita sering yah ketemu”. “Suci,” jawab saya. Wow lagi-lagi Pandji ingat saya, ia mengingat dengan baik siapa-siapa saja yang pernah datang ke acara yang ia bikin. “ Bang, ditunggu konser Hip-hopnya yah”, kata saya. “Pasti,” jawab Pandji sambil tersenyum.

Foto bareng setelah nonton Juru Bicara



Selepas Juru Bicara, Pandji mengumumkan bahwa ia benar-benar menjadi seorang Juru Bicara. Keputusan yang menuai banyak pro dan kontra. Semakin panas suasana perpolitikkan Ibu kota, semakin banyak teman yang memutuskan untuk mengucap selamat jalan pada Pandji.  Saya jelas memiliki pandangan yang berbeda dengan Pandji, saat itu saya tidak lagi membaca Pandji.com, namun disaat yang bersamaan saya masih menunggu newslatter yang dikirim ke email semua wongsoyudan. Karena email ini terasa begitu personal dan tak ada muatan politik. Beberapa teman yang kontra selalu mention saya setiap twit Pandji yang dianggap kontroversial menurut mereka. Namun teman yang pro Pandji justru mempertanyakan kenapa saya punya pandangan yang berbeda. Buat saya alasannya sederhana saja, saya bukan warga DKI buat apa saya ikut-ikutan ribut, selain itu Pandji tak pernah memaksakan penggemarnya untuk memiliki pandangan yang sama dengan dia, jadi mengapa saya harus memaksakan pandangan idola saya harus sama dengan saya. Saya yakin Pandji punya alasan yang kuat mengapa memilih menjadi Juru Bicara, sama seperti saya yang juga memiliki alasan mengapa bersebrangan dengan Pandji. “Pandji lupa apa yang pernah ia utarakan dalam materi stand upnya, lagu-lagunya, atau tulisan-tulisannya” begitu kata seorang teman. Saya penasaran hingga suatu hari saya mention Pandji  mengenai lagu demokrasi kita. Twitt saya dibalas, ia ternyata masih ingat dengan jelas lirik lagunya. Terlepas dari keputusan teman-teman lain, ternyata sampai saat ini saya masih follow Pandji,  masih sering mendengarkan lagu-lagu Pandji, masih baca buku yang saya punya, masih pakai jaket Indonesia: dan kaus Nusantarap untuk jalan-jalan dan masih menunggu karya musik Pandji. Saya mengunduh lagu "satu lawan banyak" yang menurut saya bukanlah selera saya serta lagu "sentimental" yang saya suka sekali sehingga kerap saya dengarkan.



seorang teman di Semarang yang mengucap selamat jalan pada Pandji




Unduh satu lawan banyak


suka banget sama lagu sentimental




***
Hidup itu selalu bergerak, perubahan adalah suatu yang pasti. Terlepas dari hiruk pikuk dunia perpolitikkan yang membuat banyak orang merasa Pandji berubah, saya masih menunggu lagu-lagu Pandji. Saya akan segera mengunduh, lalu mendengarkan. Jika saya suka maka saya akan masukan dalam playlist, jika tidak maka lagunya mungkin bukan selera saya. Sesederhana itu saja sih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar