Jumat, 09 Januari 2015

Road trip Jogja-Lasem



Lebih dari setahun yang lalu saya dan beberapa teman yang berdomisili diJogja melakukan roadtrip ke beberapa kota. Tujuannya untuk "meet the people", yak bertemu dengan orang-orang yang telah banyak berbuat demi kecintaan mereka terhadap pusaka. Jangan anggap pusaka disini adalah keris dan sebagainya. Pusaka merupakan kata yang dipakai oleh sebagian besar pelaku pelestarian sebagai pengganti kata "heritage", dimana termasuk didalamnya Pusaka alam, pusaka budaya (ragawi dan tak ragawi), serta pusaka saujana (sejauh mata memandang,gabungan antara pusaka alam dan pusaka budaya).

Persinggahan kami pertama adalah Kabupaten Magelang. Disana kami disambut hangat oleh pak Jack dan mas Hatta, dua punggawa Mbudur (sebutan saya untuk Candi Borobudur), yang sudah banyak berbuat untuk masyarakat sekitarnya. Pak Jack adalah pemilik hotel Lotus yang terkenal seantero dunia (sudah menjadi rekomendasi di lonley planet), dan Mas Hatta adalah guide keren yang paling dicari di candi Borobudur. Mereka memulai aksinya atas dasar keprihatinan terhadap kondisi saat itu, dan kesadaran bahwa pusaka Adiluhung Borobudur yang dapat mendatangkan ribuan orang sudah seharusnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.

Saat itu pak Jack bercerita bahwa beliau baru saja mengajak ibu-ibu untuk melihat candi guna mencari inspirasi untuk motif batik mereka. Yup, pak Jack ini adalah orang yang berada dibalik pemakaian batik bagi pengunjung candi Borobudur. Ia yang mempunyai ide tersebut dan mengusulkannya. Gayung bersambut, pihak pengelola setuju dan menerapkannya, sayang batik yang digunakan untuk memasuki candi ternyata adalah bukan batik, namun kain dengan motif batik atau dikenal dengan istilah printingan. Namun perjuangan pak Jack tidak patah arang, ia mengajak ibu-ibu di sekitar Candi untuk belajar membatik baik tulis maupun cap, membuka tempat pelatihan dan showroom, bahkan mendatangkan ahli untuk mengajarkan pembuatan motif batik dan pewarnaan alami. Kesabaran berbuah manis, pelan-pelan pengelola Candi mengganti kain batik printingan dengan batik cap hasil produksi para ibu-ibu sekitar Candi.

Lain lagi dengan mas Hatta, ia menggagas peta hijau Borubudur. Peta pertamanya justru mengenai apa saja yang ada didalam kawasan taman candi. Menurutnya banyak orang yang berdomisili disekitar candi justru belum pernah masuk kedalam kawasan candi. Diharapkan peta tersebut dapat dijadikan informasi bagi mereka. Selain itu mas Hatta juga terlibat memimpin jalannya pembersihan Candi saat tetjadi erupsi Merapi tahun 2010 lalu. Saat kami bersua, mas Hatta baru saja pulang dari dusun Maitan, ia sedang membantu masyarakat disana untuk menjadikan lingkungan mereka sebagai desa wisata. Masyarakat disana bisa dibilang jauh dari kata sederhana, namun mas Hatta menggagas sebuah koprasi untuk membeli berbagai perlengkapan demi kelayakan rumah mereka untuk menjadi homestay. Perlengkapan semisal kasur dll nya akan disimpan di koprasi dan akan digunakan oleh siapa saja warga disana yang kedatangan tamu. Hebat bukan????

Puas berbincang dengan pak Jack dan mas Hatta, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Magelang, disana seorang teman baik kami sudah menunggu. Adalah mas Bagus, pria sederhana dengam kreatifitas yang luar biasa serta kecintaan terhadap heritage yang besar membuatnya menginisiasi pembentukan komunitas kota tua magelang. Ia bangga sekali atas potensi kekayaan heritage di kota Magelang yang sebetulnya bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan. Setiap bulannya ia rutin menggelat berbagai kegiatan bersama komunitasnya semisal jelajah, diskusi dll dengan tema yang tidak pernah sama. Ia rela melakukan survey dan mencari data serta informasi yang akurat untuk dibagikan pada saat penjelajahan. Buatnya mengajak anak muda berwisata dengan format jelajah adalah salah satu cara yang ditempuh untuk membuat mereka mengenal dan mencintai kotanya dan heritage didalamnya lebih baik lagi. Hebatnya, sejauh yang saya tahu, mas Bagus melakukannya dengan tulus dan jauh dari kata provit.

Kota tujuan kami selanjutnya sebetulnya adalah Lasem, namun kami mampir sejenak ke Rembang untuk bertemu dengan mas Pop yang akan mengantarkan kami ke Lasem. Jangan pernah bertanya nama aslinya karena memang ia senangnya dipanggil Pop. Saya bertemu mas Pop pertama kali di Medan saat kami sama-sama menghadiri Indonesian Heritahe Gathering, dan sejak saat itu ia berjibaku dengan pengembangan wisata yang selaras dengan pelestarian pusaka di Lasem melalui Lasem Heritage society. Mimpinya dapat menjadikan Lasem sebagai kota pusaka dunia. Ia berusaha memperkenalkan lasem yang sebenarnya dikenal sebagai litle tiongkok nya Indonesia ke seantero negeri dengan menonjolkan kekayaan pusakanya. Ia mengajak para travelblogger untuk membuat ebook tentang lasem, membuat berbagai sosial media untuk mempromosikan lasem, menjadi pemandu bagi siapa saja yang ingin mengenal Lasem bahkan berjualan batik dari satu pameran ke pameran lain, dari satu acara ke acara lain, dari satu kota ke kota lain. Semua itu ia lakukan untuk mengenalkan keindahan batik pesisir milik Lasem dan berbagai sejarah dan cerita dibalikbya. Kabar terakhir yang saya dapat, saat ini ia sedang berusaha menyelamatkan bukit-bukit karst di Rembang dari pendirian sebuah pabrik. Bukit karst seperti umumnya adalah tempat tinggal manusia pada era prasejarah maka bukit karst Rembang pun menyimpan hal yang sama. Mas Pop sempat menemukan beberapa hal yang ia percaya sebagai tinggalan masa pra sejarah, dan melaporkan kepada inatansi terkait. Sayang belum sempat dilakukan penelitian dan penggalian lebih lanjut area tersebut justru akab dibikin pabrik.

Perjalanan kami memang berakhir di Lasem. Tapi banyak hal yang saya dapat dari perjalanan itu. Selain sehelai batik Lasem pemberian mas Pop, saya melihat semangat dan usaha yang pantang menyerah dari orang-orang yang saya temui.

Berbicara mengenai voluntourism, sudah pasti akan banyak teori, pendapat atau opini yang akan muncul, yang semuanya masih dapat didiskusikan apalagi diperdebatkan. Namun yang saya yakini adalah bahwa apa yang telah dilakukan oleh teman-teman saya ini adalah bagian dari voluntourism. Saya sependapat jika voluntourism merupakan solusi yang tepat untuk pariwisata yang berkelanjutkan, dan itu bisa kita mulai dengan menjadikannya gaya berjalan kita, mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal yang kecil. Apa yang dilakukan teman-teman yang saya ceritakan diatas pun juga dimulai dengan sebuah langkah kecil. Mari mulai melakukan riset kecil kecilan terhadap lokasi yang akan kita tuju. Bukan hanya sekedar destinasi atau kulinernya saja namun juga apa yang sekiranya dapat kita lakukan untuk vokuntourism disana. Sebagai awalan selipkan saja satu kegiatan kecil yang bermanfaat diantara itinetary yang kita buat. Atau jika memang tidak memungkinkan maka bekali diri kita dengan berbagai informasi yang cukup (contohnya membaca dan mencari bagaimana sikap yang baik memasuki kawasan Taman Nasional jika memang kita berniat kesana) sehingga pada saat melakukan perjalanan setidaknya kita tidak melakukan hal-hal yang berdampak negatif terhadap lokasi yang dikunjungi.

Akhir perjalanan ini justru mendatangkan pertanyaan besar untuk saya sendiri. Jika saya mempunyai teman-teman yang sebegitu hebatnya melakukan voluntourism, langkah kecil seperti apa yang akan saya lakukan untuk voluntourism??