Selasa, 31 Januari 2017

Suasana Imlek di Klenteng Dhanagun, Bogor

Bogor adalah kota yang akan saya tuju ketika perayaan Cap Go Meh berlangsung. Buat saya, pawai kebudayaan peranakan dan kebudayaan asli Bogor yang menyatu dalam kemeriahan selalu menarik untuk didatangi. Tetapi bagaimana dengan Imlek, apakah akan seramai ketika parade Cap Go Meh berlangsung? Rasa penasaran ini yang membawa saya dan seorang teman melangkahkan kaki menelusuri pecinan Bogor saat Imlek.


Kami memulai penjelajahan dari jalan Suryakencana. Sebuah gerbang cantik menjadi penanda keberadaan pecinan Bogor. Gerbang dengan atap berbentuk ekor walet ini menampilkan pula kekhasan budaya Bogor dengan adanya sebuah kujang dibagian atap utama serta dua buah patung macan disisi kanan dan kiri.  Tak jauh dari gerbang ini berdiri sebuah Klenteng yang berusia lebih dari 300 tahun. Kelenteng inilah yang menjadi tujuan kami.


Pintu gerbang Klenteng Dhanagun


Hujan yang tak henti mengguyur kota Bogor pada pergantian tahun tidak menyurutkan langkah para umat yang ingin beribadah. Sebaliknya justru disyukuri sebagai simbol keberuntungan. Lilin-lilin  berbagai ukuran berderet rapi di halaman depan klenteng. 

“Lilin ini simbol dari rasa syukur” kata Pak Japra, pria paruh baya yang bertugas di Klenteng menyapa kami dengan ramah. Menurut cerita Pak Japra, lilin-lilin besar tersebut merupakan pemberian umat, wujud nazar ketika doa dan keinginan mereka tercapai. Sesuai janji mereka saat doa terucap pada pergantian tahun sebelumnya. Nyala lilin merupakan simbol harapan, dan doa yang terus menyala untuk sepanjang tahun. 

Lilin-Lilin yang diletakkan pada halaman depan Klenteng


Namun lilin-lilin tersebut hanya akan menyala selama 12 hari saja, karena lokasinya akan dipergunakan untuk persiapan puncak perayaan Imlek yaitu Cap Go Meh. “Nanti di sini ada potong lidah, sehari sebelum Cap Go Meh” lanjut Pak Japra. Saya mengerutkan dahi, berusaha membayangkan bagaimana ritual itu berlangsung. “Mungkin seperti ritual Tatung di Singkawang” kata Murni teman seperjalanan saya saat itu.


“Seperti debus” seloroh pak Japra. Ritual potong lidah juga merupakan simbol permohonan pada Dewa agar diberikan keselamatan, keberkahan hingga terhindar dari bahaya. Ritual ini juga menjadi saat yang tepat untuk memohon kelancaran dalam hal bisnis ditahun yang baru. 

Murni sedang memotret Pak Japra
“Nanti siapa yang dipotong lidahnya? Bapak yah?” tanya Murni lagi. Pak Japra tersenyum mendengar pertanyaan itu lalu menjelaskan jika yang akan melakukan ritual tersebut adalah para pendekar yang disebut sebagai tangsin dan berasal dari perguruan beladiri. Ia sendiri mengaku tidak ingin berada didekat para tangsin, takut nanti roh yang masuk ke raga para tangsin menyasar ke dalam dirinya. Coba saja bayangkan, darah yang mengucur dari luka yang terbuka akibat sayatan lalu ditampung dan dipergunakan untuk menulis serangkaian doa dan harapan pada kertas sesaji. 

Ritual ini tentu saja menarik ratusan orang untuk datang dan melihat. Maka Pak Japra menyarankan kami untuk datang lebih awal, “ Acaranya dimulai pukul 3 sore tetapi datanglah sejak pukul 12, agar bisa mendapat tempat yang baik untuk foto” kata Pak Japra mengakhiri percakapan sambil menunjuk kamera kami. Saya tersenyum lalu pamit untuk melihat-lihat bagian lain dari  Klenteng.

Asap tebal dan harum hio yang dibakar menyeruak ketika saya beranjak ke ruang utama Klenteng. Belasan orang hilir mudik di dalam Klenteng, membawa hio berbagai ukuran di tangan. Mengangkat hio setinggi kepala, memejamkan mata seraya berdoa dengan khidmat pada Thien dan para dewa. Anak kecil, pria, wanita hingga orang tua berjalan dari satu altar ke altar lainnya, sibuk mengucap syukur, menguntai doa serta harapan. Beberapa fotografer membidikkan kameranya namun tak sampai mengganggu mereka yang beribadah.






Sebuah pohon hoki dengan bunga berwarna merah berdiri disebuah sudut. Alih alih angpao, saya melihat kartu-kartu harapan tergantung di dahan pohon. Saya pun tergerak untuk ikut menuliskan harapan. “mau nulis harapan dapat jodoh” jawab saya ketika Murni bertanya apa harapan yang ingin saya tulis. Kami pun segera menghampiri satu persatu petugas di Klenteng untuk bertanya dimana kami bisa mendapatkan kartu harapan. Sayangnya kami tidak berhasil mendapatkan satupun siang itu.








Keluar dari bangunan utama Klenteng kami disapa oleh seorang lelaki paruh baya yang baru saja selesai beribadah. Bapak Setiawan namanya, ia berdomisili di Jakarta namun juga kerap beribadah di Klenteng Danagun.  “ ijin moto pak, ingin lihat kemeriahan Imlek” kata saya sambil membalas sapaan Bapak Setiawan. 

Ia menuturkan jika ingin melihat keramaian Imlek cobalah datang ke Klenteng ketika malam menjelang pergantian tahun baru. Banyak orang akan datang ke Klenteng untuk mengucap syukur. Imlek itu bersyukur kepada tuhan karena memberi hujan, kesuburan dan segalanya hingga bisa bercocok tanam dan memohon supaya hasilnya bagus. 

“Semua manusia kan butuh pangan, pangan dari mana? ya dari tuhan, walau kita yang mengerjakan, makanya kita harus bersyukur” lanjutnya. Tidak heran Imlek itu umumnya pasti sedang musim hujan. Penanggalan Tiongkok kuno itu biasanya tepat, contohnya tanggal 15 itu pasti sedang bulan purnama. 

 “Jadi makanya tgl 15 itu ada Cap Go Meh ya pak” tanya saya

“Iya, Imlek itu istilahnya kita sudah bersyukur maka Cap Go Meh itu puncak perayaannya. Setelah Cap Go Meh maka kita harus kembali bekerja. Karena tuhan sudah menyediakan segalanya sama kita, iklimnya, tanah yang subur, maka manusia harus bekerja yang rajin. Nenek moyang kita itu apapun bangsanya sebenernya sama mengajarkan kita untuk bersyukur dan rajin” kata pak Setiawan sebelum akhirnya ia pamit pulang.




Pecinan Bogor saat Imlek memang tidak seramai saat Cap Go Meh digelar. Bila kemeriahan Cap Go Meh identik dengan perayaan dan suka cita maka saya melihat ketaatan para umat dalam beribadah saat Imlek. Syukur satu kata yang sering saya dengar siang itu. Mungkin itulah makna sejatinya imlek. Namun bukankah mengucap syukur pada tuhan adalah sebuah hal yang seharusnya dilakukan oleh semua umat beragama, apapun agamanya. 





Tulisan ini saya  sertakan dalam lomba blog: “Perayaan Imlek di Indonesia” di sini


4 komentar:

  1. pohon mei hua nya ada isi duit gak ya di angpao :p



    deddyhuang.com

    BalasHapus
  2. gak ada, itu kartu-kartu harapan yang digantung di dahan

    BalasHapus
  3. Eh iya bogor juga seru buat cap gomeh yaaaa, gw sekitar 10 th yg lalu pernah liat pawai nya di surken

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya rame banget. Jumat dan sabtu ini aku ke Bogor lagi sama Mumun. Mas cum mau ikut?

      Hapus