Sawahlunto kota Tambang. Rasanya
tulisan ini kerap saya temui ketika mobil yang saya tumpangi membelah jalanan Kota
Sawahlunto. Berada sekitar 95 km sebelah timur laut Kota Padang dan membutuhkan
waktu berkendara sekitar 4 jam.
Destinasi wisata unggulan di
Sawahlunto pun berhubungan dengan tambang. Pada kegiatan #PesonaMinang bersama
Pesona Indonesia beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi 4
diantaranya yakni Lubang Mbah Soero, Museum Tambang, Museum Kereta dan Gudang Ransoem yang keempatnya berkaitan
satu sama lain.
Cuaca panas tak menghalangi
langkah saya ketika berusaha mengejar teman-teman lain yang sudah berjalan
terlebih dahulu menuju Lobang Mbah Soero. Jarak yang dekat antara Gudang
Ransoem dan Lobang Mbah Soero membuat tim memutuskan untuk berjalan kaki. Saya
dan teh Nita tertinggal dibelakang karena kami sibuk membeli berbagai buku
mengenai Sawahlunto terlebih dahulu.
Tiba di Lokasi saya disambut papan
nama besar bertulisakan InfoBox. Memasuki gedung InfoBox atau yang lebih
dikenal sebagai Lobang Mbah Soero maka hal pertama yang nampak pada ruang
pendaftaran adalah seonggok rantai dalam etalase kaca yang mengingatkan kita
akan orang rantai. Semula Infobox adalah sebuah gedung pertemuan buruh yang
juga menanyangkan berbagai hiburan yang diadakan setelah hari gajian. Pada
lantai 2 gedung ini terdapat galeri foto sedangkan bagian belakang ruang
pendaftaran berisi sejumlah sepatu boot dan helm yang harus dikenakan oleh
pengunjung sesaat sebelum memasuki Lobang Mbah Soero yang berada tepat di
halaman samping gedung info box.
Mengunjungi Infobox sama seperti
kita belajar mengenai sejarah kota Sawahlunto. Sejarah Kota Sawahlunto sebagai
kota Tambang telah dimulai sejak pertengahan abad ke 19 ketika C. De Groot van
Embden memulai penyelidikan kemungkinan keberadaan batubara pada tahun 1858.
Namun nama yang jutsru dikenal luas berjasa menemukan batubara di Sawahlunto
adalah Willem Hendrik De Grave, seorang geolog kelahiran Froon-Acker 15 April
1840. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang mengedepankan pendidikan hingga
akhirnya mendapatkan gelar sarjana pertambangan saat ia berusia 19 tahun.
Karirnya dimulai dengan mengikuti pelatihan dari pemerintahan kerajaan Belanda
pada 14 Desember 1861 hingga akhirnya berangkat ke Hindia Belanda pada Agustus
1862.
Di Hindia Belanda ia mulai dengan
menjadi asisten C. De Groot van Embden di Bogor. Tugasnya kala itu adalah
membantu penelitian dan pemetaan kandungan bahan mineral. Ia pun sempat
ditugaskan untuk peneliti kandungan timah di Bangka, Seram dan Jawa Barat
sebelum akhirnya berangkat ke pedalaman Minangkabau dengan tugas peneliti
kemungkinan keberadaan kandungan biji tembaga. Tugas ini ia kerjakan dengan
baik walau ternyata kandungan biji tembaga di pedalaman Minangkabau tidaklah
menggembirakan. Tugas di Bumi Andalas pun berlanjut ketika ia menerima surat
tugas pada 26 Mei 1867 untuk meneruskan penelitian mengenai batubara di Ombilin
Sawahlunto. Berhubung penelitian batubara di Ombilin ini sudah pernah dilakukan
oleh C. De Groot van Embden, maka tidak ada kesulitan yang berarti untuk De
Grave. Ia mulai penelitiannya dengan menbaca laporan-laporan penelitian De
Groot.
De Grave memulai penelitiannya
dari hulu sungai Ombilin yang berada tak jauh dari Singkarak dengan melibatkan
pula penduduk lokal. Ia tak hanya mengarungi sungai tetapi menaiki bukit,
keluar masuk hutan belantara dan menuruni lembah. Pada tahun 1868 De Grave
mengambil kesimpulan bahwa hasil penelitian menunjukkan jalur Ombilin benar-benar
kaya akan batubara dengan perkiraan lebih dari 200 juta ton. Hasil penelitian
De Grave membuat pemerintah Hindia Belanda senang bukan kepalang. Bagimana
tidak, dengan batubara sebanyak itu mereka tidak perlu lagi membeli batubara
dari Afrika yang harganya mahal.
Tambang batubara pun dibuka
dibeberapa tempat. Para pekerja didatangkan dari penjara-penjara di Padang dan
pulau Jawa atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Mendatangkan pekerja
dari penjara dinilai memakan biaya yang lebih murah, selain memangkas
pengeluran untuk penjara, batu bara didapat dan uang pun mengalir dengan deras.
Para perkerja inilah yang dikenal sebagai orang rantai, karena selama mereka
bekerja dan beraktifitas tangan serta kaki tak lepas dari rantai. Hal ini untuk
mengantisipasi agar para pekerja tidak melarikan diri.
Puas mendapat penjelasan mengenai
sejarah kota Sawahlunto, kami mengenakan sepatu boot dan helm pengaman lalu
beranjak menuju Lobang Mbah Soero. Saya melihat sebuh pintu melengkung dengan
tulisan 258mdpl serta tangga batu terjal yang harus kami turuni untuk masuk
kedalam bekas lubang tambang ini. Lobang Mbah Soero dikenal juga sebagai Soegar
dan dibuka pada tahun 1898. Namun pada tahun 1932 tambang ini ditutup karena
sejumlah alasan diantaranya adanya gas yang berbahaya, rembesan air dari sungai
Lunto dan ada rencana untuk menjadikan tambang ini sebagai cadangan batubara.
Lubang tambang dengan kedalaman 258mdpl ini diberi nama Soegar oleh Belanda
yang berarti gula, hal ini dikarenakan hasil buminya banyak dan keuntungan yang
dicapainya terasa manis seperti gula.
Pada tahun 2007 tambang dibuka
kembali untuk dijadikan sebagai destinasi pariwisata mengingat nilai sejarah
yang ada didalamnya. Lorong-lorong diperbaiki supaya keamanan pengunjung
terjaga. Namun ada bagian-bagian yang masih menampakkan keasliannya seperti
frame kayu yang dulunya digunakan sebagai kusen pintu. Menurut pemandu kami,
beberapa lorong ditutup berdasarkan permintaan dari paranormal yang ikut serta
pada saat pembukaan kembali lorong ini. Saat itu diadakan pula penelitian
ketahanan bangunan struktur penyangga lalu
ditambahkan blower untuk mengalirkan oksigen.
Lebih lanjut bapak pemandu
menjelaskan bahwa pada peta lama,
terdapat 6 level dalam tambang ini , namun yang dibuka saat ini baru level 1.
Karena level lainnya masih terendam air yang terus merembes. Pemandu kami juga
menjelaskan cara mengambil batubara yaitu
dengan membuat lorong vertikal bisa sampai puluhan kilometer. Jika
mereka dirasa sudah tidak ada lagi batu bara yang dapat diambil mereka menggali
mundur dan membuat lorong ke kanan dan kirinya sambil tak lupa membuat
penyangga agar meminimalisir bahaya runtuh.
Tiba di level 1 kami diarahkan
untuk melalui lorong disebalah kanan, di kiri dan kanan masih bisa kita jumpai
batubara. Tahukah kamu, ternyata saat tambang ini direncakan sebagai cadangan
batubara, diatasnya lalu dibangun rumah-rumah karyawan. Seiring berjalannya
waktu pernah ada wacana untuk membuka tambang dan mulai produksi kembali namun
hal ini dirasa sulit karena rumah-rumah yang berdiri diatasnya bukan lagi hanya
milik karyawan namun milik warga. Sampai saat ini diperkirakan masih terdapat deposit 40 ribu
juta ton batubara dengan kalori sebesar 6.000-7.000 dan merupakan kualitas
terbaik nomor tiga di dunia. Ketebalan lapisan batubara jenis C saja bisa
sampai 15 meter. Saat ini sedang
dilakukan penyelidikan dan rencana untuk penambahan jalur wisata sepanjang 800 meter.
Ketika saya melangkahkan kaki
didalam lorong yang sempit dan lembap, dengan air yang masih terus menetes saya
membayangkan betapa sulitnya hidup orang rantai. Orang rantai ternyata kebanyakan berasal dari
penjara-penjara di Surabya, Glodok, dan penjara Cipinang di Batavia. Mereka
dibawa dari Pulau Jawa dengan kapal melalui pelabuhan Tanjung Priuk menuju Pelabuhan
Emma Haven (teluk bayur) lalu dilanjutkan dengan kereta menuju Sawahlunto.
Perjalanan tersebut memakan waktu 4-7 hari tergantung pada kecepatan kapal. Menurut
data milik Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 1892 terdapat 1500 tahanan
yang dikirim ke Sawahlunto. Tahanan dengan
fisik yang gemuk dan dirasa kuat ditempatkan untuk bekerja di dalam lubang
tambang. Pekerjaan di tambang meliputi menggali batu bara, mengangkat
balok-balok kayu, serta membuat penyangga lorong sementara mereka yang dianggap
memiliki fisik lemah mendapat tugas dibagian perawatan dan pemilahan batubara.
Pembagian kerja di dalam tambang
dilakukan berdasarkan sistem bergilir dengan pembagian giliran kerja 1: dimulai jam 6 sampai jam 2 siang, giliran
kerja ke- 2 mulai jam 2-10 malam dan
giliran kerja ke- 3 jam 10 malam – 6 pagi. Biasanya mereka yg mendapatkan
giliran kerja pertama akan bangung pukul 4 pagi lalu solat subuh, mandi serta
berkemas lalu kaki, tangan dan leher mereka pun dirantai. Mereka berjalan
secara berkelompok sekitar 5-7 orang dengan rantai yang terhubung satu sama lainnya
melintasi jalanan kota menuju lubang tambang. Sebelum memulai pekerjaan
diadakan apel pagi di dekat tambang, disini mandor akan mengabsen mereka dan
memeriksa tubuh mereka dengan teliti, korek api tidak diperkenankan dibawa
dalam lubang karena dikhawatirkan memicu kebakaran mengingat adanya gas yang
berbahaya. Benda-benda tajam pun termasuk benda terlarang untuk meminimalisir
kemungkinan perkelahian antar orang rantai.
Mandor lalu akan menyuruh orang
rantai masuk kedalam lubang, berbaris menghadap dinding lorong, dan mulai
bekerja. Mandor pun bisa sewaktu-waktu
memberi perintah untuk pindah yang berarti orang rantai harus bergeser ke kiri
atau kanan mengikuti perintah. Apabila orang rantai berhenti mengayunkan
belincong (alat untuk menggali batubara) niscaya bentakan serta caci maki yang
didapatkan mereka, dan jika ada yang menolak bekerja maka timah panas pun akan
melesat mengambil nyawa secepat kilat. Area bekerja yang sempit, udara yang
pengap, panas dan resiko kecelakaan kerja yang tinggi membuat pekerjaan di dalam
tambang menjadi sangat berat apalagi setiap orang rantai memiliki target
penggalian sebesar 1.8 ton setiap giliran kerjanya. Terbayang bagaimana mereka
harus bekerja keras.
Selain kewajiban bekerja di
tambang, orang rantai mendapatkan hak berupa ransoem dengan menu sederhana yang
dimasak di Godeang Ransoem, cemilan berupa lapek, pisang goreng dan teh
manis yang diberikan disela jam
istirahat kerja, uang gaji sebesar 7 sen per hari (tahun 1902, lalu meningkat
menjadi 11,5. ) serta uang premi yang sayangnya uang tersebut pun biasanya
habis begitu saja untuk hiburan yang disediakan oleh pengelola tambang. Orang
rantai pun kerap mengalami pemotongan
uang gaji dan premi oleh oknum pejabat Belanda. Setelah jam kerja selesai, orang
rantai kembali diajak berjalan melintasi kota menuju tangsi, namun ada juga
kebijakan yang menyatakan bahwa orang rantai boleh menghirup udara diluar
tangsi semisal berjalan di pasar sampai dengan pukul 5 sore itu pun dengan
keadaan masih mengenakan rantai.
Orang rantai memang didatangkan
dari berbagai penjara namun pada masa itu penghuni penjara bukan hanya diisi
oleh orang jahat. Banyak pula orang rantai yang sejatinya dipenjara dalam
usahanya membela republik atau sekedar mempertahankan tanah mereka bahkan
memberontak pada pemerintahan Hindia Belanda.
Lobang Mbah Soero dan
lubang-lubang tambang batu bara lainnya pernah mencapai masa jaya nya, pernah
menghasilkan uang yang sangat amat banyak yang sayangnya tidak dinikmati dengan
layak oleh pribumi namun mengalir kepada pemerintahan hindia belanda.
Lubang-lubang ini kini mengingatkan saya betapa kejamnya penjajahan, betapa
sulitnya hidup yang dijalani orang rantai bahkan mungkin orang-orang yang
justru membela tanah air kita.